Langsung ke konten utama

Sebuah cerita tentangnya

Rupanya pantai ini masih sama: teduhnya, indahnya, susunan karangnya, bahkan ibu-ibu penjual degan di sisi barat pantai juga masih dengan payungnya yang sama. Aku masih menyukai pantai ini rupanya, walaupun harus kukuatkan diriku dahulu sedemikian rupa sebelum aku kembali kemari alih-alih sekadar untuk bernostalgia, namun pantai ini sarat kenangan tentang dia, bahkan sekuat apapun aku menepisnya. Setiap sisi dari pantai ini benar-benar tentangnya.
'Ah karang sialan itu rupanya masih ada'. Seketika pandanganku tertuju pada batu karang besar dimana aku dan dia selalu menghabiskan senja di atasnya. Senja yang dihabiskan dengan petikan gitarnya, lalu kelakarnya yang selalu membuatku tertawa, sembari sesekali ia menyibakkan rambutku dengan jemarinya. Aku masih ingat betul nyaman ketika aku bersandar di bahunya, hangat ketika aku dirangkulnya, serta harum bau parfumnya. Ah, aku jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Kali ini aku duduk di karang yang sama, menatap senja yang masih sama pula semburat jingganya. Namun yang berbeda adalah kali ini aku tidak lagi bersamanya.
Maka, apakah kamu mau menemaniku menghabiskan senja? Akan kuceritakan beberapa hal tentangnya.

Kamu tak perlu tahu namanya. Dia tampan, dadanya bidang, 10 cm lebih tinggi dariku, kulitnya langsat, bibirnya merona, serta ada lesung di pipi kanan yang turut menghiasi senyumnya. Mudah bagimu untuk mengetahui apa-apa yang disukainya. Gitar kesayangannya, selera musiknya, dan pertandingan sepak bola. Ia selalu berbagi tentang 3 hal itu, entah kenapa aku tidak pernah bosan mendengarnya, bahkan perlahan aku pun turut menyukainya.
Aku mengenal dia sebagai orang yang baik hatinya. Sosok yang selalu ada dalam suka maupun duka. Sosok yang membuatku terlena dengan limpahan kasih sayangnya. Sosok yang selalu mendahulukan kepentinganku di atas kepentingannya. Sosok yang manis mulutnya, tak terhitung berapa jumlah "aku mencintaimu" yang ia katakan padaku setiap harinya.

Namun, siapa sangka brengseknya dia mengantarkan pada akhir dari semua cerita. Mulut manisnya sungguh fana, ia gunakan untuk tebar pesona. Ia seperti lebah, pandai hinggap dari bunga ke bunga.

Ah, sebenarnya aku kemari bukan untuk mengingat luka. Sebenarnya aku cukup menceritakan padamu tentang kebaikannya. Tapi tak apa, aku akan tetap melanjutkannya.

Mungkin aku juga brengsek di matanya. Aku rasa sebaiknya kamu pun mendengar persepsinya. Tapi tak apa, siklus itu memang selalu ada. Bertemu dan berpisah, sudah banyak terjadi sewajarnya. Aku bangga karena dahulu aku sanggup menyelesaikannya tanpa berlinang air mata. Padahal jika aku mau jujur, sampai sekarang aku masih menyayanginya, aku masih kagum dengan kebaikannya.

Namun dia sudah tidak lagi kupercaya, sekuat apapun dia mencoba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : The True Power of Water

Judul : The True Power of Water Penulis: Masaru Emoto Pengantar Buku : KH. Abdullah Gymnastiar Penerbit : MQ Publishing Tahun Terbit : 2006 Cetakan ke : 1 Tebal Buku : 192 halaman           Ini adalah buku ilmiah yang pernah meraih "The New York Times Best Seller"  yang ditulis oleh seorang saintis Jepang, Masaru Emoto.  The True Power of Water merupakan buku kedua Masaru Emoto setelah buku pertamanya, The Hidden Message in Water . Buku ini berisi tentang penelitian Emoto mengenai air dan kekuatannya yang menakjubkan. Penulis mengatakan bahwa penelitian yang dilakukannya tidaklah mudah, ia harus rela menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah ruangan bersuhu -15 derajat celcius demi melihat dan mengambil gambar pengkristalan air yang hanya muncul sekitar 20-30 detik.            Penilitiannya membuktikan bahwa air memiliki pesan yang tersembunyi di dalamnya. Hal ini dikarenakan air sangat sensitif terhadap suatu energi yang sulit dilihat di alam semesta yang diseb

-a conflict

Dog days-dog days seem never be bored to bother me. My mind says "suicide?" My heart says "no, no" Maybe someday they'll say "long story short, i survived" Or maybe not. -Sal

Day 30. What I feel when I write

-Epilog- Lebih tepatnya aku malu dengan diriku sendiri karena kemampuan menulisku sudah tidak sebagus dulu lagi. Bahkan ketika aku memaksa diriku untuk menulis selama 30 hari, tetap saja aku tidak bisa mengembalikan apa-apa yang dulu kupunya. Mungkin aku telah berevolusi menjadi pribadi yang berbeda? Tapi aku senang. Aku jadi banyak berdialog dengan senandikaku sendiri, lebih tepatnya mendebat. Karenanya aku lebih memahami tentang diriku sendiri, terlebih tentang perasaan-perasaan yang kupikir sudah hilang, namun sebenarnya masih ada serpihannya barang sedikit hehe Aku berterima kasih kepada kalian semua yang sudah membaca tulisan-tulisan tidak jelas ini. Bahkan beberapa dari kalian banyak yang memberikanku inspirasi! Terima kasih banyak! Mungkin setelah ini aku akan jarang mampir kemari, karena aku sudah disibukkan dengan kegiatan koasistensi :) jadi, sampai jumpa lagi! -Sal