Rupanya pantai ini masih sama: teduhnya, indahnya, susunan karangnya, bahkan ibu-ibu penjual degan di sisi barat pantai juga masih dengan payungnya yang sama. Aku masih menyukai pantai ini rupanya, walaupun harus kukuatkan diriku dahulu sedemikian rupa sebelum aku kembali kemari alih-alih sekadar untuk bernostalgia, namun pantai ini sarat kenangan tentang dia, bahkan sekuat apapun aku menepisnya. Setiap sisi dari pantai ini benar-benar tentangnya.
'Ah karang sialan itu rupanya masih ada'. Seketika pandanganku tertuju pada batu karang besar dimana aku dan dia selalu menghabiskan senja di atasnya. Senja yang dihabiskan dengan petikan gitarnya, lalu kelakarnya yang selalu membuatku tertawa, sembari sesekali ia menyibakkan rambutku dengan jemarinya. Aku masih ingat betul nyaman ketika aku bersandar di bahunya, hangat ketika aku dirangkulnya, serta harum bau parfumnya. Ah, aku jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Kali ini aku duduk di karang yang sama, menatap senja yang masih sama pula semburat jingganya. Namun yang berbeda adalah kali ini aku tidak lagi bersamanya.
Maka, apakah kamu mau menemaniku menghabiskan senja? Akan kuceritakan beberapa hal tentangnya.
Kamu tak perlu tahu namanya. Dia tampan, dadanya bidang, 10 cm lebih tinggi dariku, kulitnya langsat, bibirnya merona, serta ada lesung di pipi kanan yang turut menghiasi senyumnya. Mudah bagimu untuk mengetahui apa-apa yang disukainya. Gitar kesayangannya, selera musiknya, dan pertandingan sepak bola. Ia selalu berbagi tentang 3 hal itu, entah kenapa aku tidak pernah bosan mendengarnya, bahkan perlahan aku pun turut menyukainya.
Aku mengenal dia sebagai orang yang baik hatinya. Sosok yang selalu ada dalam suka maupun duka. Sosok yang membuatku terlena dengan limpahan kasih sayangnya. Sosok yang selalu mendahulukan kepentinganku di atas kepentingannya. Sosok yang manis mulutnya, tak terhitung berapa jumlah "aku mencintaimu" yang ia katakan padaku setiap harinya.
Namun, siapa sangka brengseknya dia mengantarkan pada akhir dari semua cerita. Mulut manisnya sungguh fana, ia gunakan untuk tebar pesona. Ia seperti lebah, pandai hinggap dari bunga ke bunga.
Ah, sebenarnya aku kemari bukan untuk mengingat luka. Sebenarnya aku cukup menceritakan padamu tentang kebaikannya. Tapi tak apa, aku akan tetap melanjutkannya.
Mungkin aku juga brengsek di matanya. Aku rasa sebaiknya kamu pun mendengar persepsinya. Tapi tak apa, siklus itu memang selalu ada. Bertemu dan berpisah, sudah banyak terjadi sewajarnya. Aku bangga karena dahulu aku sanggup menyelesaikannya tanpa berlinang air mata. Padahal jika aku mau jujur, sampai sekarang aku masih menyayanginya, aku masih kagum dengan kebaikannya.
Namun dia sudah tidak lagi kupercaya, sekuat apapun dia mencoba.
'Ah karang sialan itu rupanya masih ada'. Seketika pandanganku tertuju pada batu karang besar dimana aku dan dia selalu menghabiskan senja di atasnya. Senja yang dihabiskan dengan petikan gitarnya, lalu kelakarnya yang selalu membuatku tertawa, sembari sesekali ia menyibakkan rambutku dengan jemarinya. Aku masih ingat betul nyaman ketika aku bersandar di bahunya, hangat ketika aku dirangkulnya, serta harum bau parfumnya. Ah, aku jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Kali ini aku duduk di karang yang sama, menatap senja yang masih sama pula semburat jingganya. Namun yang berbeda adalah kali ini aku tidak lagi bersamanya.
Maka, apakah kamu mau menemaniku menghabiskan senja? Akan kuceritakan beberapa hal tentangnya.
Kamu tak perlu tahu namanya. Dia tampan, dadanya bidang, 10 cm lebih tinggi dariku, kulitnya langsat, bibirnya merona, serta ada lesung di pipi kanan yang turut menghiasi senyumnya. Mudah bagimu untuk mengetahui apa-apa yang disukainya. Gitar kesayangannya, selera musiknya, dan pertandingan sepak bola. Ia selalu berbagi tentang 3 hal itu, entah kenapa aku tidak pernah bosan mendengarnya, bahkan perlahan aku pun turut menyukainya.
Aku mengenal dia sebagai orang yang baik hatinya. Sosok yang selalu ada dalam suka maupun duka. Sosok yang membuatku terlena dengan limpahan kasih sayangnya. Sosok yang selalu mendahulukan kepentinganku di atas kepentingannya. Sosok yang manis mulutnya, tak terhitung berapa jumlah "aku mencintaimu" yang ia katakan padaku setiap harinya.
Namun, siapa sangka brengseknya dia mengantarkan pada akhir dari semua cerita. Mulut manisnya sungguh fana, ia gunakan untuk tebar pesona. Ia seperti lebah, pandai hinggap dari bunga ke bunga.
Ah, sebenarnya aku kemari bukan untuk mengingat luka. Sebenarnya aku cukup menceritakan padamu tentang kebaikannya. Tapi tak apa, aku akan tetap melanjutkannya.
Mungkin aku juga brengsek di matanya. Aku rasa sebaiknya kamu pun mendengar persepsinya. Tapi tak apa, siklus itu memang selalu ada. Bertemu dan berpisah, sudah banyak terjadi sewajarnya. Aku bangga karena dahulu aku sanggup menyelesaikannya tanpa berlinang air mata. Padahal jika aku mau jujur, sampai sekarang aku masih menyayanginya, aku masih kagum dengan kebaikannya.
Namun dia sudah tidak lagi kupercaya, sekuat apapun dia mencoba.
Komentar
Posting Komentar